KESENJANGAN SOSIAL EKONOMI
Kemiskian
memang bukan hanya menjadi masalah di Negara Indonesia, bahkan Negara majupun
masih sibuk mengentaskan masalah yang satu ini. Kemiskinan memang selayaknya tidak
diperdebatkan tetapi diselesaikan. Akan tetapi kami yakin : “du chocs des
opinion jaillit la verite”. “ Dengan benturan sebuah opini maka akan
munculah suatu kebenaran “. Dengan kebenaran maka keadilan ditegakkan, dan
apabila keadilan ditegakkan kesejateraan bukan lagi menjadi sebuah impian akan
tetapi akan menjadi sebuah kenyataan.
Menurut Robert Chambers bahwa
inti kemiskinan terletak pada kondisi yang disebut deprivation trap atau
perangkap kemiskinan. Perangkap itu terdiri dari :
1. Kemiskinan itu sendiri
2. Kelemahan fisik
3. Keterasingan atau kadar isolasi
4. Kerentaan
5. Ketidakberdayaan
Semua
unsur itu terkait satu sama lain sehingga merupakan perangkap kemiskinan yang
benar – benar berbahaya dan mematikan, serta mempersulit rakyat miskin untuk
bangkit dari kemiskinannya.
Menarik
kita intip kembali masalah kemiskinan di Indonesia yang pada tahun 2005 jumlahnya
35,100 juta jiwa ( 15,97 % ), tahun 2006 jumlahnya 39,300 juta
jiwa ( 17,75 % ), tahun 2007 berjumlah 37,130 ( 16,58 % ) ( sumber
BPS ). Menurut World Bank penduduk Indonesia yang masih dibawah
garis kemiskinan sebanyak 49 % pada tahun 2007 atau berpendapan di bawah 2
dollar AS per hari ( ketentuan garis kemiskinan versi World Bank ). Memang
terjadi suatu perbedaan antara BPS dan World Bank, dikarenakan indicator yang
digunakan untuk menghitung garis kemiskinan pun berbeda. Sampai sekarang masih
terjadi perdebatan antara para pengamat ekonomi tentang metodologi penghitungan
kemiskinan menurut BPS. Terlepas dari perdebatan tersebut kita tengah
dipertontonkan fakta yang cukup menakutkan berupa angka kemiskinan yang masih
sangat tinggi sekali.
Faktor
– faktor internal dan eksternal orang miskin pun semakin membuat kehidupan yang
mereka jalani semakin sulit. Adapun factor internal orang miskin diantaranya :
tingkat pendidikan yang rendah, kebodohan, sikap apatis orang miskin terhadap
segala kebijakan pemerintah, dll. Dan inilah ( factor internal ) yang selama ini dijadikan
salah satu alasan pemerintah, mengapa kemiskinan sulit dientaskan. Sebetulnya
masih ada factor eksternal yang seharusnya pemerintah juga memperhatikan dan
mencermati, yang kami anggap juga tak kalah menyulitkan bagi orang miskin.
Adapun factor eksternal diantaranya pembangunan yang selama ini tidak berpihak
kepada orang miskin, distribusi pendapatan Negara yang tidak merata,
penggusuran dengan / tanpa kompensasi, kesenjangan social – ekonomi. Kita
memang mempunyai orang terkaya se- Asia Tenggara versi Globe Asia akan
tetapi kita juga dihadapkan dengan fakta yang menyedihkan tentang meninggalnya
seorang anak balita di Makassar karena tidak diperiksakan dan dirawat di rumah
sakit setelah 1 bulan menderita sakit, dikarenakan tidak mampu membayar biaya
kesehatan ( Kompas, 2/11 ). Ini lah salah satu wujud kesenjangan social
– ekonomi yang sudah sangat parah. Menarik juga mengangkat tentang sertifikasi
dan isu kenaikan gaji guru yang sekarang sedang menjadi bahan perbincangan di
kalangan masyarakat. Tugas seorang guru memang berat dan penuh amanat, akan
tetapi gaji seorang guru dengan golongan terendah sekalipun jikalau kita hitung
masih diatas 2 dollar per hari. Dan mereka bukan termasuk salah satu dari 49%
orang miskin versi World Bank. Dan saya rasa memang belum saatnya jikalau gaji
guru dinaikkan, mengingat kondisi perekonomian di Negara kita dan ketakutan
akan semakin lebarnya jurang kesenjangan antara yang Miskin dan tidak Miskin,
masih sangat banyak orang di sekeliling kita yang berpenghasilan jauh dibawah 2
Dollar per hari, seperti: buruh tani, buruh pabrik, kuli, dan masih banyak
lagi.
Dengan dana pendidikan 20% dari APBN,
alangkah baiknya pemerintah mengalokasikan dana tersebut untuk diprioritaskan
pada sarana pendidikan baik dari infrastruktur sekolah, akses sekolah, biaya
pendidikan yang terjangkau bagi orang miskin. Jikalau distribusi dana
pendidikan lancar, niscaya jurang kesenjangan social – ekonomi yang Miskin dan
Miskin akan berkurang.
Dan andaikata para konglomerat (termasuk
para elite pemerintahan), mau berkorban, mengabdi kepada rakyat niscaya akan
tumbuh sebuah rasa “senasib sepenanggungan” sehingga akan tercipta apa
yang dinamakan “sama rasa sama rata” sehingga akan mewujudkan sebuah
masyarakat yang sosialis – demokratis. Suatu masyarakat yang menjunjung tinggi
hak – hak azasi manusia tanpa adanya perbedaan kelas.
(sumber: kompas)
No comments:
Post a Comment